Hati dan Pikiran Tetap Panas Walau Pilpres Telah Berlalu Kok Bisa?


Tidak hanya di dunia maya yang aroma panasnya begitu membara. Di dunia nyata pun, gema pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden begitu dahsyat efeknya. Seperti rumah kaca yang membakar bumi. Panasnya menembus atmosfer. Gerah dan bikin sumpek saja. Segala orang berbicara politik sesuai dengan kadar yang mereka kuasai. Yang jelas urat saraf tampak begitu menegang. Belum lagi suaranya yang begitu kencang.

Tidak jarang saya jumpai orang saling beradu mulut. Hanya karena beda pilihan. Jangankan orang awam, elit politik atau bahkan yang katanya tokoh agama saja, bicaranya juga sering keblalasan. Merasa pilihannya yang paling benar. Jagonya paling suci. Dan akan membawanya ke surga.

Yang paling bikin resah, informasi di media sosial yang tidak terkendali. Orang berkata apa aja. Saling hujat dan mencaci-maki. Sumpah serapah. Yang berakhir saling unfollow. Putus pertemanan, gara-gara beda pilihan.

Untung sekali saya tidak terjebak dan terbawa arus dalam permusuhan ini. Bukan berarti saya tidak punya pilihan. Saya tetap memilih diantara dua kandidat itu. Tapi saya tidak mau mencela dan memuji bah dewa. Seala kadarnya saja. Dua kandidat itu juga manusia. Ada sisi kelebihan dan kekurangannya.

Pemilu, khususnya pemilihan presiden telah usai. Pasti akan meninggalkan rasa kecewa bagi yang kalah. Wajar, karena telah mengorbankan biaya yang gede. Tapi yang namanya sebuah petarungan, menang dan kalah itu sudah menjadi pilihan. Mau tidak mau ya harus menerimanya.

Nah, bagi yang belum menerima akan kekalahan kandidatnya. Dijamin hati dan pikiran tetap panas. Dadanya tampak sesek. Mudah tersinggung. Sebuah pesta demokrasi bisa berubah menjadi democrazy. Kewarasan pikiran hilang. Yang tidak sepemikiran dan sekelompok, layak untuk dimusuhi. Gendeng jadinya kan?

Pemilu menjadi ajang belajar untuk berpolitik. Tapi jangan lupa, perbanyak baca buku dan referensi. Latih juga emosi. Pikiran tetap tenang. Bicara tetap ditata dan diatur. Karena dalam permainan politik itu tidak ada musuh yang abadi. Serba luwes dan fleksibel. Ada hal-hal yang bisa dikompromikan. Sekarang lawan, suatu saat bisa menjadi kawan. Atau bisa jadi sebaliknya. Tergantung kepentingan.

Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Back To Top