Ingat Wartel Hati Jadi Jengkel

Wartel

Walau hidup ini terus bergerak maju, tapi kadang pikiran ini tidak mau diajak bekerjasama. Terjebak pada masa lalu. Sehingga terjadilah sebuah kebuntuhan di tempurung kepala. Buteg lias tidak jelas apa yang hendak diinginkannnya. Diam, bahkan ada keinginan untuk mundur. Kekacuanlah yang ada. Terlindaslah oleh roda kehidupan. Tertatih-tatih, sempoyong dan lunglay akhirnya.

Apakah salah mengenang masa lalu? Tidak juga seh. Dan sebenarnya, tidak ada keharusan untuk menghapus jejak masa silam. Karena masa silam adalah bagian dari rentetan sebuah perjalanan,. Dan tidak mungkin bisa terpisahkan, walau telah terbentang waktu yang panjang. Tapi bagiamana masa silam itu tidak menjerat dan membuat terbelenggu untuk maju. Sebuah hal yang sulit, tapi harus dilakukan.

Mengenang Wartel, Warung Telekomunikasi. Sebuah usaha atau bisnis yang pernah mengalami kejayaan di era 90-an. Teman saya pernah bekerja sebagai penjaga wartel, walau gajinya kecil tapi sampingan dari sisa recehan uang pelanggan lumayan besar juga. Dan biasanya, wartel buka 24 jam, sehingga karyawan penjaganya dibuat dua shif, bergiliran.

Setiap kotak atau pesawat telephone dibuatkan ruangan tersendiri dan disekat. Yang diberi nama KBU. Ayo ada yang tahu kepanjangan KBU kagak? Kamar Bicara Umum, betul sekali. Sehingga ada KBU1, KBU2 dan seterusnya. Disetiap KBU biasanya juga tersedia kursi, buat duduk pelanggan. Sehingga saat melakukan telekomunikasi bisa lebih rilek.

Kalau malam minggu, aduh wartel sangatlah ramai dan penuh. Terjadi antrian panjang deh. Maka harus rela bersabar, bahkan ada petugas wartel yang menerapkan jatah waktu maksimalnya. Jika melebihi waktu jatahnya, siap-siap saja digedor-gedor pintunya.

Kalau ingat wartel, sebenarnya hati ini jengkel. Lah kok bisa? Ya bisalah, kan jadi ingat sang mantan juga. Weleh, dimana-mana kok serba ingat sang mantan. Maklum dulu kan saya pernah mengalami dan merasakan cinta jarak jauh. Sebuah pilihan yang sulit. Lah kok sulit? Lah iya lah. Kan cinta itu, yang ada hanya rasa rindu. Ingin selalu bertemu. Inginnya itu selalu dekat dan lengket.

Karena sebuah pekerjaan, sehingga cinta itu harus terbentang jauh. Kekasih di Semarang, dan saya sendiri tetap tinggal di Jogjakarta. Menahan rindu itu sangatlah berat. Walau sering berkirim surat, hati ini tetap terasa gersang dan haus. Belum terpuaskan jika belum mendengarkan suaranya.

Maka setiap malam minggu selalu berkomunikasi lewat wartel. Jika sudah ngobrol sampai lupa segalanya. Tahu-tahu biaya komunikasinya mencapai ratusan ribu rupiah. Jebollah isi dompet. Gaji seminggu ludes buat wartel saja.  Akhir cerita, sang kekasih dijodohkan orang tuanya. Jebol dompet, jebol pula hati ini. Sakitnya itu tidaklah terkira. Teriris perih dan pedih. Sebuah pengorbanan yang sia-sia.

Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Back To Top