Toko Buku Gunung Agung Bangkrut, Tutup! Minat Baca Masyarakat Indonesia Rendah?

Ada kabar yang sangat mengejutkan bagi saya! Apa itu? Dengan tutupnya toko buku Gunug Agung di Kwitang. Wow bukannya itu sudah lama tutup, sekitar tahun 2020? Ya betul, Toko Buku Gunung Agung yang pertama. Ya itu toko buku yang letaknya tak jauh dari perempatan Pasar Senen Jakarta. Tapi akhir tahun ini 2023 akan ada penutupan outlet Toko Gunung Agung lagi yang dekat dengan kali atau sungai Kwitang, Toko  Gunung Agung yang menuju ke Patung Tani.

Toko Gunung Agung yang petama sudah tutup dan terpasang spanduk dijual. Seperti yang saya singgung di atas, toko buku ini tutup tahun 2020. Masih ada yang menarik, yaitu ada pejul buku di depannya. Walau saya amati, si penjualnya tertidur pulas. Mungkin dia lelah menunggu pembeli buku yang tak kunjung datang. Saya pun tak berani mengganggu ya. Walau ada keinginan untuk melihat-lihat buku koleksinya.

Dulu saya sering banget belanja buku ke toku buku Toko Gunung Agung gedung pertama ini. Hampir semua koleksi buku yang saya punya, saya dapatkan dari Toko Gunung Agung Kwitang. Bisa dibilang, setiap minggu saya menyambangi Toko Gunung Agung, demi mendapatkan buku keluaran baru atau mencari buku novel yang terlaris. Rasanya sedih melihat toko buku yang penuh dengan kenangan ini, eh tiba-tiba tutup.

Menurut sejarah. Toko Buku Gunung Agung awalnya didirikan oleh Tjio Wie Tay atau yang lebih dikenal dengan nama Haji Masagung di tahun 1953. Usia Toko Buku Gunung Agung sudah sekitar 70 tahunan. Yang seharusnya sudah kuat dan tahan badai. Tapi kenyataan apa? Walau sudah banyak cabang  di kota-kota besar Indonesia, ternyata rapuh juga. Dimana letak kesalahannya? Saya sendiri tak tahu.


Apakah dengan tutupnya oulet-oulet Toko Buku Gunung Agung mengisyaratkan bawah minat baca buku warga atau masyarakat Indonesia rendah? Menutur riset UNISCO menyebut minat baca Indonesia  0,001 persen. Yang berarti dari 1000 orang, hanya satu yang suka membaca. Wah wah, apa riset tersebut akurat? Saya sendiri juga tak tahu alasannya. Dan menurut kabar juga, bahwa literasi Indonsia rendah, peringatkat 60 dari  61 negara. Tapi herannya Indonesia dijuluki negara paling cerewet di medsos (Media Sosial).

Saya dulu juga sempat kemakan survai UNISCO tersebut. Eh sudah ada yang tahu belum apa itu kepanjangan dari UNISCO? The United Nations Educational Scientific And Cultural Organization. Yaitu organisasi Internasional yang bergerak dibidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Indonesia sendiri masuk atau bergabung ke UNISCO sejak tahun 1950.

Menurut saya, minat baca masyarakat Indonesia itu sangat tinggi. Buktinya apa? Ya dengan kemunculan kelompok belajar dimana-mana, semisal  Bimbingan Belajar (BimBel), Taman Pengajian Al Quran (TPA), Taman Kanak-Kanak (TK), Perpustakaan Keliling yang selalu digemari, dan sebagainya. Jadi dengan tutupnya gerai atau oulet Toku Buku Gunung Agung tidak menjadi patokan atau indikasi minat baca Indonesia rendah.


Terus kenapa Toko Gunung Agung tutup? Yang jelas ya kerena bangkrut. Sudah tidak bisa lagi membiayai operasionalnya. Tidak mampu lagi bersaing dengan rivalnya. Tahu sendiri kan, jika toko sebelahnya itu, tidak hanya menjual buku, tapi juga selaku penerbit buku. Belum lagi menghadapi toko-toko online yang kian menjamur, yang berani memberikan harga yang lebih menarik. Semenjak pandemi, orang malas keluar rumah. Harus pakai masker dan harus cuci tangan, belum lagi tes suhu. Benar-benar dibikin ribet. Tinggal pencet hape, barang yang diinginkan datang. Toko Gunung Agung kurang inovatis, tidak bisa mengikuti perkembangan jaman. Tidak bisa membaca kemauan konsumen.

Pendapatan masyarakat Indonesia, masih tergolong rendah. Gaji sebulan saja, belum tentu bisa mencukupi kebutuhannya. Boro-boro mau beli buku, bayar cicilan saja masih sering menunggak. Hahaha, jangankan cicilan, bayar listrik, air PAM dan kontrakan sudah lumayan pening kepala. Sering melewati batas waktu yang ditentukan. Belum lagi urusan kuota internet. Sekarangkan, sekolah dikit-dikit disodori video dari youtube atau tiktok sebagai bahan pembelajarannya. Beda dengen era dulu, "Silakan baca buku halaman sekian dan praktekan". Kalau sekarang, "Buka link video ini ya?"

Soal buku bajakan? Wah ini masalah yang pelik ya, jika bicara soal buku bajakan. Buku ori lumayan tinggi harganya. Sebenarnya jika bicara soal harga itu relatif. Maka tidak mengherankan, jika buku bajakan lebih digemari. Walau dari segi kualitas sangat  rendah. Belum lagi dari sulitnya menemukan buku-buku yang bermutu. Cover buku-buku yang beredar dibuat boombastis, dengan label best seller. Eh isinya.....

Berita Terkait

15 komentar:

  1. Turut bersedih dengan tutupnya toko buku gunung agung, sudah lama juga saya tidak menyambangi tokonya. Munculnya toko toko online dan migrasi kaum muda ke bacaan digital mungkin termasuk yang mempengaruhi banyaknya toko toko buku yang gulung tikar.

    Kalau minat baca., iya juga sih mas. Saya yang dulunya rajin membaca sekarang rajin nonton netflix :-(

    BalasHapus
  2. Memang toko*buku udh jarang yg datangi...kebanyakan orang sekarang cari bacaan dengan menyentuh layar saja dan banyak pilihan..agak miris memang

    BalasHapus
  3. sangat di sayangkan toko bukunya tutup karna bangkrut, mungkin memang kalah saing sama toko sebelah yang memang lebih populer, aku pribadi baru tau toko buku gunung agung :D

    BalasHapus
  4. Thanks for your informative sharing...

    BalasHapus
  5. rasanya sedih melihat toko buku yang dulu begitu jayanya. sekarang runtuh tak bersisa

    BalasHapus
  6. Dulu saya sering ke Toko Gunung Agung sekitar tahun 1980-an awal.
    Biasa saya kunjungi Gunung Agung di Kwitang. Beberapa saat kemudian Gunung Agung pindah ke gedung bertingkat di dekat bunderan seperti pada foto diatas.
    Gunung Agung juga punya toko buku yang khusus menjual buku-buku bertema religi. Tokonya disebelah Gunung Agung Kwitang, nama tokonya apa ya, lupa, toko Mas Agung (?). Di toko ini di lantai 2 ada masjid. Masjidnya bersih, rapi, nyaman banget.
    Saat Gunung Agung sudah demikian besar saat itu, toko buku Gramedia masih dalam bentuk toko buku kecil di Pasar Baru. Beberapa tahun kemudian, Gramedia membuka toko buku besar di Matraman.

    Demikian sekilas cerita, Mas

    Salam,

    BalasHapus
  7. Sungguh menyedihkan. Ini memang tantangan berat bagi buku cetak dan toko buku.

    BalasHapus
  8. Turut bersedih ketika mendengar toko buku gunung agung akan tutup. Di semarang ada 1 toko buku gunung agung. Jika tutup, maka tinggal gramedia yang bertahan di semarang.

    Mungkin tutupnya toko buku tidak bisa langsung dikaitkan dengan minat baca orang indonesia yang rendah. Sekarang pola konsumsi di masyarakat terus berkembang. Dulu seseorang jika ingin buku mesti ke toko buku, tapi sekarang bisa langsung pesan di marketplace. Apalagi sekarang banyak toko buku online yang memasarkan banyak pilihan buku. Beberapa perpustakaan memungkinkan buku mereka bisa dipinjam dan dibaca secara online.

    BalasHapus
  9. Ya ampyuuuuuun Toko BUku GUnung Agung ini seriiiing banget aku datengin zaman masih kecil. Sekeluarga demen beli buku di sana, tentu dibaca juga dong di rumah dan jadi koleksi. Sebeanrnya lebih nyaman baca buku secara langsung pegang buku kalau aku sih, dibandingkan buku digital. Ya ada plus minusnya semua kan kemajuan teknologi :D

    BalasHapus
  10. Saat libur kerja, cukup sering berkunjung ke toko buku, baik Gunung Agung atau Gramedia, di Senen, Gajah Mada Kota, Blok M, Cinere Mall, Mall Pondok Indah. Sekarang bentuk buku sudah kalah dengan digital. Eranya sudah berubah Kang Djangkaru, Kita juga perlu untuk ikut menyesuaikan.

    BalasHapus
  11. Itu toko buku jaman saya masih pelajar (masuh culun).

    BalasHapus
  12. Sedih aku... ini toko buku yang buatku punya memori banget bareng papa. Dulu setiap ultah papa selalu KSH hadiah boleh beli buku sebanyak apapun yang kami mau, asal kuat bawa sendiri 😄. Aku dan adik suka banget baca. Makanya tiap ultah kami nunggu2 banget bisa beli buku sepuasnya.

    Salah satu tempat ya beli di gunung agung. Apalagi di Medan ada. Cuma Krn masih kecil, supaya bisa beli banyak, keranjangnya kami taro bawah, trus dorong deh berdua 😂. Tapi setelah bayar, tetep papa yg bawa.

    Setuju sih Ama poin2mu mas. Bukan minat baca yg rendah, tapi Krn gunung agung memang ga bisa ngikutin zaman. Dan ekonomi yg bekum bangkit, jadi penambah beban beli banyak orang yg LBH milih beli hal penting lain drpd buku. Toh buku bisa baca di perpustakaan. Gramedia aja masih kuat berdiri. Walo kliatan sepi, tapi mereka ada onlinenya.

    BalasHapus
  13. Dulu sempet kaget juga pas denger toko buku gunung agung tutup. Walaupun saya jarang beli buku di gunung agung, tapi denger toko buku akhirnya tutup tuh sedih juga.

    Menurutku selain karena persaingan di era digital yang semakin sengit. Faktor harga buku yang semakin mahal juga pengaruh, kalau biasanya 100ribu bisa dapet 2-3 buku, sekarang cuma bisa dapet 1.

    BalasHapus
  14. Layan medsos lebih seronok dari baca buku...sebab itu ramai yang tidak mahu baca buku...kalau adapun golongan yang bekerja dalam industri ilmu sahaja

    BalasHapus

 
Back To Top