Kalau orang jawa, biasanya punya tradisi atau budaya jimas atau cuci senjata kesayangannya. Memandikan senjata pusaka, senjata peninggalan leluhurnya. Sebuah tradisi yang unik dan tampak aneh. Eleeh, kenapa pusaka dimandiin atau dicuci segala. Kurang kerjaan, itu anggapan sebagian orang. Ya tak apa-apa seh. Sah-sah saja. Yang namannya beda pendapat, hal lumrah.
Semua kan tergantung dari sudut mana mereka memandang. Karena beda sudut pandang itulah, ya akhirnya beda presepsi. Sekali lagi, itu hal yang lumrah. Kunane-kuno, manusia itu akan selalu beda pendapat. Konflik itu sudah mengakar. Yang penting tidak tejadi tawuran saja.
Nah, di Bulan Suro yang seperti saya katakan tadi. Saya biasanya memandikan pusaka warisan mbak buyut. Pusaka yang sudah berusia ratusan lebih. Bulan Suro, itu sebutan bagi orang jawa, kalau menurut penamaan Kelender Hijriah namanya Bulan Muharram.
Saya sendiri juga kurang tahu, kenapa bisa berubah menjadi nama Bulan Suro. Atau mungkin di Bulan Muharram tersebut terjadi peristiwa sejarah besar, yaitu tragedi Asyuro. Sehingga nama Asyuro lebih terkenal, daripada nama bulan Muharram itu sendiri? Entahlah.
Syarat untuk memandikan pusaka, biasanya bunga melati dan sejenisnya. Bunga aneka warna gitulah. Dan buah jeruk nipis. Nah, nanti jeruk nipis inilah yang gunanya untuk membersihkan karat yang nempel pada senjata. Kalau bunga? Biar wangi saja itu senjatanya.
Nah, jika sudah selesai dimandiin atau dicuci. Kemudian dibungkus dengan kain putih. Eist, untuk menjimas senjata ini ada tata caranya ya. Tidak asal mencuci. Emangnya kalau asal kenapa? Eh yang ada justru senjata itu bisa cepat rusak. Dan masih ada hal lain yang harus dipenuhi. Karena yang dicuci kan bukan sembarang senjata.
Itulah kegiatan saya jika di bulan Suro. Saya sempat kewalahan mencari bunga melati. Hampir disemua pasar dekat rumah, bunga melatinya kehabisan stock. Yang seharusnya jimasan tanggal 10 Muharram, terpaksa diundur tanggal 20 Muharram (20 September). Telat dikit tidak apalah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar