

Ya seperti apa yang saya singgung diatas. Saya itu mau ngomong apa, sebenarnya bingung. Mau ngomong soal bansos? Ah bikin jengkel saja. Gara-gara bansos saya dapat musuh. Sebenarnya bukan soal itu pembagian jatah. Hanya karena ada orang yang mudah tersinggung dan emosi hanya karena saat membuat penerangan lampu dimalam hari. Aduh ini orang kok mudah emosi, marah-marah bernada keras. Saya kan hanya memberi tahu, "Kalau ingin menyambung listrik disini saja, jadi tak perlu jauh-jauh". Eh hanya ngomong gitu aja, ngajak ribut. Saya mah diam saja, bukan soal takut. Sudah kenyang berantem hehehe. Satu melawan sepuluh saja pernah. Melabrak orang pakai parang saja pernah. Ribut di jalanan juga pernah. Kini saya pengen jadi orang sabar dan berusaha untuk mengendalikan emosi.
Bahas soal masker? Apalagi tambah pening. Kini orang dengan mudahnya mengadili dan menghakimi sesama, hanya gara-gara masker. Saya melihat orang yang sudah tua dan sebenarnya layak dituakan, saling ribut hanya soal masker. Tingkah lakunya jadi kayak orang tidak berpendidikan, mirip anak TK. Seakan-akan masker menjadi juru penyelamat. Sedangkan awal-awal pandemi ini masuk, katanya masker hanya bagi yang sakit. Orang sehat tidak perlu pakai masker. Sekarang jadi aneh, keluar rumah tidak pakai masker kena sanksi sosial dan kena denda. Weleh! Bahkan dengar kabar, kini masker harus ber-SNI.
Kalau dipikir-pikir benar kata guru saya, "Jangan terlalu cemas dan takut terhadap corona. Bisa jadi yang kau takuti itu tidak menyebabkan kematian bagimu". Takut sama corona, eh matinya karena kelaparan. Takut corona, matinya kecelakaan. Takut corona eh matinya karena jantungan. Saya pernah mengalami sindrom ketakutan yang luar biasa terhadap corona. Ya karena sering terlalu membaca berita, atau pembaca sms yang masuk dari petugas gugus covid. Eleh ini kenapa pakai kirim pesan SMS segala. Kurang penggawaian kah petugas gugus depan covid ini. Atau sengaja ingin menciptakan ketakutan. Entahlah. Giliran masyarakat sudah merasakan ketakutan, pengen mengganti istilah-istilah penyakit tentang korona. Sudah terlambat!
Bicara soal pendemi ini? Ya paragraf diatas sudah sedikit mengulasnya. Dampak dari pendemi ini lumayan dan lumayan. Ah tidak perlu saya jabarkan. Ekonomi jadi seret, kebutuhan ini dan itu harus dibayarkan. Saya pernah makan apa adanya yang penting perut terisi. Jadi pengen ambil tisu. Tapi saya harus tetap menunjukan ekspresi gembira. Kadang pengen cemberut, dan menangis tapi malu sama sang Pencipta. Seakan-akan saya tidak ridho dengan nasib yang saya terima. Saya harus bisa mengambil sisi nikmat, agar bisa bersyukur. Weleh sok alim!
Eh belum lama ini saya bertemu dengan kekek penjual Donat? Apa? Paragraf yang hampir selesai baru membahas tema judul artikel? Kemana aja bos? Kan sudah saya bilang, saya itu mau ngomong apa sebenarnya bingung. Mau dilanjutkan kagak? Lanjutkanlah!
Saat lagi asek membuat video bersama boneka Raja Kodok, ada seorang kakek penjual donat yang datang. Wah kesempatan nih bisa berkolaburasi, batin saya. Ya akhirnya saya membeli donatnya. Sambil ngobrol-ngobrol ringan. Kakek ini berjualan dengan sistem setoran. Saya pun menyinggung soal keuntungaannya. Ternyata, keuntungannya hanya cukup buat makan, dan itu pun kalau laku donatnya. Saya pun sempat terhenyak sesaat. Ada rasa sedih dan prihatin. Ngilu mendengarkannya.
Harga donatnya sangat murah sekali, seribu rupiah. Saya pun membeli alias mentraktir bocah-bocah. Ternyata hanya habis 22ribu rupiah. Tapi saya senang, kakek penjual donat ini tampak gembira. Walau laku tidak seberapa. Mungkin ada harapan pulang sudah membawa uang. Aduh, kalau Om Koodok punya uang banyak, pastinya saya borong donat tersebut. Alaaah, pintar alasan. Iya, itupun saya punya duit juga hasil dari blog ini. Ada yang pasang artikel placement, terus sebagian duitnya saya buat traktir bocah-bocah. Berbagi kegembiraan gitu. Wah siplah! Eh, ngomong-ngomong sudah subscribe belum? Subscribelah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar