Melihat Jejak Kejayaan Theatre Kutowinangun, Gedung Bioskop yang Kini Mati

Theatre Kutowinangun

Beberapa minggu ini, sulit atau susah tidur. Pikiran melayang kemana-mana. Walau sebenarnya apa yang dipikirkan itu tidaklah jelas. Tapi tetap saja mengganggu kenyaman tidur. Mata susah sekali dipejamkan. Sudah bersusah payah untuk menutup mata, agar bisa tidur, eh hasilnya nihil juga. Ah, kenapa dengan diri ini. Apa yang sebenarnya menjadi beban derita ini. Kenapa diri ini tampak tersiksa. Pertanyaan yang menyemburat di ubun-ubun kepala. Tetap saja, saya tidak tahu jawabannya.

Apa mungkin karena saya sudah terlalu kenyang tidur siang? Sehingga jika malam, badan ini tidak mau diistirahatkan. Atau mungkin saya terlalu banyak minum kopi? Ya ya, kalau urusan kopi saya memang maniaknya. Bisa habis bergelas-gelas. Kopi habis, bikin lagi dan seterusnya. Ah, apa benar karena efek dari cafein kopi? Sekali lagi, saya pun tidak tahu jawabannya.

Saya pun hanya bisa menghelai nafas panjang. Pertanda ada rasa amarah yang tersemburkan. Marah kepada siapa? Entahlah! Mungkin, saya marah terhadap nasib yang kian hari semakin tak jelas gambarannya. Masa depan yang masih terhalang kabut tebal. Ingin menyibaknya, tangan ini tidak mampu menjangkaunya. Ah, saya pun semakin kencang menghembuskan nafas.

Theatre Kutowinangun

Kehidupan ini sebenarnya memang seperti itu. Roda jaman terus berputar. Yang bertahan itulah yang menjadi pemenangnya. Yang kreatif yang akan mampu beradaptasi. Yang berinovasi yang akan menguasi. Yang menyerah, akan tergilas dan mati. Terlupakan oleh waktu. Dan akan menjadi sebuah kenangan. Bahkan tanpa nisan, karena tak ada jejak yang ditinggalkan.

Wah, saya terlalu romantis nih. Terlalu bernostalgia dengan waktu. Memang saya akui, saya paling senang bernostalgia. Suka bercumbu mesra dengan masa lalu. Apalagi masa lalu yang begitu indah dan berkesan. Sulit sekali terlupakan dalam ingatan. Terkenang-kenang abadi selamanya. Selalu terngiang dalam pikiran.

Woih, saya itu mau bercerita tentang kejayaan Gedung Bioskop yang ada di Kotowinangun. Tapi, justru jadi curhatan nih. Wah wah, bagaimana to ini. Maklum, kata pembuka emang begitu biar menjadi sebuah karangan yang panjang. Bergaya pujangga atau sastrawan sedikit tak apalah ya? Sambil mencurahkan isi kepala, daripada menjadi bisul. Biar tak menjadi penyakit.

Theatre Kutowinangun

Kesanangan saya memang suka potret-potret. Mirip photographer gitulah. Tapi ya itu, alat tempurnya masih menggunakan kamera hape. Pasti hasilnya kurang begitu memuaskan. Pengambilan gambarnya kurang sempurna. Modal nekat, hal yang wajar ya. Kadang memotretnya dengan sembunyi-sembunyi, kurang percaya diri. Takut ditertawakan atau takut dicurigai. Saya kan kemana-mana pakai kolor, dan telanjang dada pula. Orang yang tidak kenal, saya dikira kurang se-ons pikirannya. Atau bisa jadi dianggap punya etikat kurang baik, alias dikira mau mencuri.

Theatre Kutowinangun yang sangat tersohor dan kondang dieranya. Era film layar lebar masih menjadi primadona. Belum seperti sekarang, sudah jaman digital. Serba lewat hape, nonton film lewat genggaman. Apalagi video Youtube menjadi sang rajanya. Tamat sudah, nasib gedung bioskop. Jangankan diera digital yang semakin canggih ini. Era kaset CD (Compack Disk) maupun DVD (Digital Video Disk) bajakan saja, gedung bioskop sudah ngos-ngosan. Kalah saing dan sepi penonton.

Akhirnya Theatre Kutowinangun, harus mengaku kalah. Dan tutup selamanya. Kini gedungnya dipergunakan untuk lapangan tenis batminton. Gedung yang semakin kusam, dengan seng-seng yang semakin berkarat. Rumput liar ditumbuh dihalaman.  Tampak sekali tidak terawat. Theatre Kutowinangun berada di Jalan Yahya, Karanganyar, Kutowinangun, Kecamatan Kutowinangun, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah 54393, Indonesia.

Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Back To Top