Tradisi Ziarah Kubur Kini Sepi, Penjual Bunga Bersedih Hati

Penjual Bunga

Di Indonesia itu punya tradisi unik. Sebelum Ramadan, masyarakat berziarah ke makam leluhurnya. Datang ke kuburan menengok sanak-family maupun keluarganya yang sudah mendahuluinya. Kalau di kampung saya terkenalnya dengan nama tradisi nyadran atau Sadranan. Biasanya tradisi ini sepuluh hari atau lima hari sebelum memasuki bulan ramadhan. 

Tiap kampung berbeda waktu, biar tidak tempuk atau bentrok. Makanya ada yang lima atau sepuluh hari sebelum Ramadan. Karena tradisi ini tidak hanya sekedar bersih-bersih makam. Tapi nanti saling berkunjung, makan-makan dan rebutan berkat. Meriah dan seru, mirip hari raya Idul Fitri

Tahun ini tampak sepi. Karena ada wabah pandemi Covid-19. Belum lagi dengan adanya instruksi dari tokoh agama maupun aparat setempat yang menghimbau, tradisi ziarah kuburan tahun ini tiadakan. Masyarakat cukup mendoakan dari rumah saja. Akhirnya masyarakat jadi takut untuk datang ke kuburan.

Saya pun memberanikan diri untuk keliling di daerah tempat saya tinggal. Melihat-lihat suasana pemakaman umum. Dan memang, tampak sepi alias lenggang. Seandainya ada yang berziarah, masih bisa dihitung dengan jari. Sangat sedikit. Sebenarnya, belum ada jenazah yang dikubur atau meninggal akibat korona. Tapi tetap saja masyarakat kawatir. Mungkin demi menjaga diri, untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan.


Saya sendiri sebenarnya juga takut. Karena di rumah suntuk dan jenuh saja. Biar punya semangat dan gairah hidup. Salah satu obatnya ya datang ke kuburan. Merenung disana, membayangkan sesungguhnya penghuni kubur itu ingin hidup lagi. Kalau dia bisa menjerit, pastinya ingin kembali bangkit, menikmati keindahan dunia ini. Ah, kenapa saya yang hidup tak bisa bersyukur.

Seharusnya saya bisa menikmati dan mengisi hari-hari dengan hal yang lebih berguna. Mumpung masih bisa bernafas. Raga dan jiwa masih sehat. Bisa melakukan aktivitas maupun ibadah dengan lancar dan sempurna. "Ah, buat apa susah. Susah itu tiada guna", kata penyanyi Koes Ploes. Ada betulnya juga!

Penjual bunga bersedih, kenapa saya harus terbawa emosi? Pemerintah saja, kurang perduli. Seandainya saat itu di dompet ada duit, ingin rasanya membeli bunga dan air setamannya. Ah, apa daya. Ya seperti inilah nasib wong cilik. Antara batas hidup dan kematiannya itu sangatlah tipis sekali. Nelangsa. Ingin mudik, tapi dilarang. Tak mudik, mati kelaparan. Tagihan listrik, air, internet dan kontrakan terus berjalan. Terus bayarnya pakai apa?

Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Back To Top