Pengalaman Menjadi Santri di Pondok Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti

Al Qur an Tulisan Tangan

Dari dulu saya itu memang tergila-gila dengan ilmu. Segala ilmu, khususnya ilmu kebatinan dan agama. Sampai saya itu berguru kesana-kemari. Rela pergi kemana saja, demi memperdalam ilmu. Kali ini saya membagi pengalaman atau cerita kegilaan saya dengan ilmu agama. Ilmu Hadist dan Al Quran yang menjadi incaran saya. Dari kecil, saya ingin sekali bisa menghafalkan Al Qur an dan Hadist.

Hal ini termotivasi oleh kakek saya yang memberikan kitab Al Quran kuno yang ditulis dengan tangan. Kitab Al Qur an ini juga dijilid dengan cara sederhana atau manual menggunakan benang dan kain. Entah berapa usia dari kitab ini, tapi saya perkirakan sudah mencapai ratusan tahun.

Saya pernah menjadi santri alias mondok di Ponpes Al Muttaqien Pancasila Sakti Klaten. Karena saya pengagum berat dengan pendiri pesantren ini. Yaitu Mbah Liem. Seorang kyai karismatik, terkenal dan tersohor se-antro negeri saat itu. Saya rela nyantri agar bisa lebih dekat dan mengenal kesehariannya. Alamat Ponpes Al Muttaqien Pancasila Sakti berada di Sumberejo, Troso, Padas, Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Saya ke Pondok Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti seorang diri. Langsung ditemui oleh keluarga Mbah Liem. Dan saya juga diterima menjadi santrinya, terus saya diantar ke penginapan. Tapi saya lupa nama dari penerima kedatangan saya, sepertinya anak perempuan Mbah Liem atau mungkin istrinya. Saya tidak bisa mengingatnya.

Tempat tidur di penginapan hanya beralaskan tikar. Kalau malam, dinginnya sampai kerungsum tulang. Jumlah santri saat itu masih tergolong sedikit. Bisalah dihitung dengan jari. Kalau malam harus bangun untuk sholat dan menghafalkan Al Quran. Sampai menjelang sholat Subuh.

Karena saya orang baru, sehingga hanya bisa menyimak dan memperhatikan kegiatan santri lama. Kalau siang, santri ini belajar layaknya sekolah pada umumnya dan kalau sore ada kegiatan ekstra kurikuler semisal latihan mayoret atau drum band.

Ada hal yang unik dengan Mbah Liem ini. Bicaranya itu entah menggunakan bahasa apa. Kalau bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa pastinya bukan. Saya pernah menanyakan dengan santri lama, katanya bahasa yang digunakan Mbah Liem adalah bahasa Sangsekerta. Sehingga saat Mbah Liem bicara ada petugas yang menterjemahkannya.

Yang jelas, Mbah Liem ini sosok yang luar biasa. Pemikirannya mampu melampui batas usianya. Dan saya sangat senang sekali bisa menjadi santrinya. Walau sampai saat ini, saya termasuk gagal dalam mempelajari ilmu hadist dan Al Quran. Tidak bisa menghafalkan ke dua kitab tersebut. Daya ingat saya terlalu lemah. Pelupa.

Diakhir kata, saya mengucapkan terimakasih kepada keluarga Mbahl Liem yang telah mengratiskan biaya saat mondok disana. Dan pastinya juga ustadz-ustadz yang telah bersabar dalam membingbing saya. Saat melayani pertanyaan saya yang begitu konyol dan bodohnya. Maklumlah, itu semua dikarenakan kedangkalan saya dalam berpikir dan memahami Al Quran.

Masih ingat dengan kalimat keluarga Mbah Liem, saat saya pamit pulang. "Tidak kuat mondok ya?". Saya hanya bisa menjawab dengan senyum, sebagai tanda membenarkan pertanyaan itu. Saya itu memang orang liar, susah sekali diikat dengan peraturan. Apalagi saya itu memang jago urusan tidur. Molor paling kuat. Disuruh bangun malam, aduh beratnya kayak ampun. Badan terasa ditindihi berton-ton baja.

Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Back To Top