Pro Kontra Film Pengkhianatan G 30 S/PKI

Pro Kontra Film Pengkhianatan G 30 S/PKI

Kadang saya sendiri bingung, kenapa isu PKI atau Komunis selalu menjadi makanan empuk. Digoreng selalu menjadi berita hangat. Terasa tidak ada basinya. Atau sebagai bahan untuk ejekan dalam perdebatan. Saya masih ingat sewaku kecil, jika ada teman yang tidak sependapat dalam pemikiran langsung mendapat cap " Dasar PKI ". Apakah semua harus dalam keseragaman dalam berpikir dan berpendapat ? Apakah memang kita belum siap dengan perbedaan? Saya sendiri juga bingung.

Sekarang lagi hangat-hangatnya tentang pro-kontra pemutaran ulang film G-30-S/PKI. Ah, jadi mengingatkan lagi sewaktu jaman kecil. Dulu di kampung saya, yang punya televisi hanya dua orang. Ya, dulu televisi tergolong benda elit. Dan warnanya pun masih hitam-putih. Jaman Orde Baru, film G-30-S/PKI menjadi menu wajib stasiun televisi TVRI, diputar pada setiap tanggal 30 September.

Saya sendiri, tatkala itu tidak bisa mengerti dan memahami makna atau pesan yang disampaikan film tersebut. Saya hanya bisa mengingat, adegan seorang ibu membasuh wajahnya dengan darah atau yang sedang menangisi anak gadisnya yang tertembak. Selain itu tidak bisa mengingat lagi.

Film Pengkhianatan G 30 S/PKI

Setelah dewasa, film Pengkhianatan Gerakan 30-S/PKI, saya anggap sekedar hiburan belaka. Tidak ubahnya seperti saya menonton film RAMBO. Film dengan seni akting yang luar biasa, setiap tokohnya bisa bertotalitas dalam meragakan perannya. Musik soundtracknya pun digarap dengan apik pula.  Salut dengan sang Sutradaranya. Ancung jempol !

Tidak ubahnya seperti dalam film RAMBO, yang sering melakukan action kekerasan/berani adalah militer atau paramiliter. Dan yang menjadi korbannya pun pada umumnya militer pula. Kekerasan yang dilakukan rakya sipil atau orang biasa, hanya digambarkan dalam adegan mengacak-acak buku ditempat ibadah. Dan yang menjadi pahlawan/pemenangnya akhirnya militer juga.

Film yang berdurasai tiga jam lebih ini, saya hanya memandang dari sudut seni, khususnya seni  hiburan. Saya tidak mau berkomentar soal politik, perebutan kekuasaan atau sudut pandang militer. Apalagi soal idiologi. Saya tidak mengerti sama sekali. Ora mudheng babar-blas ! Yang mau nonton monggo dan yang tidak mau nonton juga tidak jadi soal. Sing penting tetap akur, guyup rukun, " Papii... Darah itu merah! "

Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Back To Top